KHALIFAH ABU BAKAR
ASH-SHIDDIQ
Ia adalah 'Abdullah bin
'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka'ab
bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy. Bertemu nasabnya dengan nabi pada kakeknya
Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai, dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair salma
binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya
sama-sama dari kabilah Bani Taim.
Abu Bakar adalah ayah
dari Aisyah,
istri Nabi Muhammad. Nama yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya
'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Muhammad menjadi Abdullah (artinya
'hamba Allah'). Muhammad
memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata
benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Mi'raj yang
diceritakan oleh Muhammad kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal
dengan nama "Abu Bakar ash-Shiddiq".[1]
Pada masa jahiliyah, Abu Bakar dikenal sebagai seorang
yang jujur, berakhlak mulia, dan mahir dalam berdagang. Hal ini diketahui oleh
semua manusia sehingga ia sering didatangi oleh para pemuda Quraisy untuk
diminta keterangan tentang ilmu pengetahuan, strategi berdagang, dan sopan
santun. Selain itu, Abu Bakar juga termasuk salah satu dari ahli nasab Quraisy.[2]
Proses pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah dilakukan
di dalam satu musyawarah atau pertemuan di Sagifah Bani Saidah (sebuah
Balairung di kota Madinah). Pertemuan tersebut diadakan oleh orang-orang
Anshar, dalam rangka memilih seorang Khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW.
hal itu mereka lakukan dikarenakan saat itu orang-orang Anshar dan Muslimin
lainnya berkeyakinan, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk seseorang
sebagai penggantinya.
Pada awalnya kaum Anshar akan mengangkat seseorang dari
mereka, yaitu Saad bin Ubadah untuk menduduki jabatan Khalifah. Namun setelah
beberapa tokoh Muhajirin menyusul datang dan ikut bermusyawarah, maka diantara
orang-orang Anshar ada yang bersikap agak lunak dan menyarankan agar dari
Anshar diangkat seorang Amir dan dari Muhajirin diangkat seorang Amir. Tapi
Alhamdulillah, setelah Abu Bakar berpidato dan menerangkan keutamaan Muhajirin
untuk menduduki jabatan Khalifah, maka akhirnya orang-orang Anshar menyadari
hal tersebut dan menerima saran-saran dari Abu Bakar. Selanjutnya Abu Bakar
mengakhiri pidatonya dengan sarannya, agar hadirin mengangkat salah satu dari
sesepuh Muhajirin yang hadir di pertemuan tersebut, yaitu Umar atau Abu Ubaidah
Ibnul Jarroh.
Mendengar saran yang penuh dengan keikhlasan dari Abu
Bakar tersebut, Umar langsung menyahut : “Tidak, tidak mungkin saya diangkat
sebagai pemimpin satu kaum sedang dalam kaum itu ada engkau.” Yang dimaksud
oleh Umar tersebut adalah tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki
jabatan khalifah, melebihi Abu Bakar. Memang keutamaan Abu Bakar bukan rahasia
lagi bagi para sahabat. Demikian diantara kata-kata Umar, selanjutnya seraya
mengulurkan tangannya beliau berkata kepada Abu Bakar : “Ulurkan tanganmu,
untuk aku bai’at.”
Setelah Umar membaiat Abu Bakar, hadirinpun segera
berebut membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Besoknya dimasjid Nabawi diadakan
pembai’atan umum dan Alhamdulillah berjalan dengan baik dan lancar, dan saat
itu tidak ada satu orangpun yang protes atau tidak menyetujui pembai’atan
tersebut. Hal mana karena semua sepakat, agar kekosongan pimpinan harus segera
diisi. Bahkan pemakaman Nabi terpaksa diundur, karena menunggu terpilihnya
Khalifah.[3]
Ketika Abu Bakar telah
terpilih sebagai khalifah beliau merasa malu dan takut menuju ke mimbar
Rasulullah, mimbar yang biasa digunakan oleh Rasulullah untuk menyerukan agama
kebenaran. Abu bakar setelah menaiki dua tingkat beliaupun duduk, beliau tidak
mau menaiki semua anak tangga dalam mimbar tersebut karena beliau tidak mau
duduk di mana biasanya Rasulullah duduk. Dan setelah berada di atas mimbar,
beliau menyeru kepada kaum muslimin “wahai semua yang hadir, Aku ditunjuk
untuk memimpin kalian padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, jika
aku berlaku baik, bantulah aku dan jika aku berlaku buruk, luruskanlah aku.
Ketahuilah! Orang lemah di tengah-tengah kalian adalah orang kuat bagiku,
hingga aku ambilkan haknya. Ketahuilah! Orang kuat di tengah-tengah kalian
adalah orang lemah bagiku, hingga aku ambilkan hak orang lain darinya. Taatilah
aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan jika aku durhaka, kalian
tidak wajib taat padaku!”
Yang membuat situasi ini lebih elegan adalah perilaku
sipenyampai pidato tidak melenceng sesaatpun dan sedikitpun dari apa yang ia
sampaikan. Dengan kata-kata yang agung ini, Abu Bakar meletakkan serangkaian
tanggung jawab seorang pemimpin terpercaya dalam lingkup tanggung jawab dan
kejujuran, sekaligus mengungkap esensi setiap kekuasaan yang baik.[4]
Dari Atha’ bin Sa’ib, ia berkata, “Ketika Abu Bakar
diangkat menjadi khalifah, esok harinya ia berangkat ke pasar sambil memikul
kain di pundaknya untuk berdagang. Lantas ia berjumpa denan Umar bin Abu
Ubaidah, keduanya bertanya, ‘Mau kemana engkau wahai khalifah Rasulullah? ‘Ke
pasar,’ jawab Abu Bakar. Keduanya bertanya lagi,’ Apa yang engkau kerjakan,
padahal engkau telah menjadi pemimpin kaum muslimin? Abu Bakar menjawab ‘Dari
mana aku dapat memberi makan keluargaku? ‘Keduanya berkata lagi, ‘Pulanglah,
nanti kami akan menetapkan jatah untukmu.’[5]
Pada awal tahun ke-13, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq telah
mempersiapkan empat angkatan bersenjata. Masing-masing dipimpin oleh seorang
panglima dan dikirimkan ke wilayah-wilayah tertentu dari negeri Syam. Angkatan
bersenjata ini ialah:
1.
Pasukan Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menaklukkan Homs
2.
Pasukan Yazid
bin Abu Sufyan untuk menaklukkan Damaskus
3.
Pasukan
Syurahbil bin Hasanah untuk menaklukan lembah Yordania
4.
Pasukan Amru bin
Ash untuk menaklukan Palestina
Abu
Bakar juga mempersiapkan pasukan Khalid bin Sa’id sebagai pasukan cadangan
Seluruh pasukan berangkat untuk menghadapi pasukan Romawi
di tanah Syam. Sementara itu, pasukan Romawi menyusun satu strategi berupa
diversifikasi tentara ke dalam empat divisi besar untuk menghadapi empat divisi
pasukan muslimin. Tentu saja hal ini menghambat pergerakan pasukan Islam,
karena jumlah pasukan Romawi lebih besar hingga mencapa 240.000 prajurit,
sementara pasukan muslimin hanya 27.000 pejuang
Berbagai pertempuran berlangsung antara kaum muslimin dan
romawi di berbagai front, di antaranya yang paling terkenal adalah Perang
Yarmuk yang terjadi pada bulan Jumadal Akhirah tahun ke-13 H.
Akhirnya Allah menetapkan kemenangan bagi kaum muslimin
dnegna bergugurannya prajurit Romawi di tanah peperangan. Gugurnya beberapa
tentara yang dibelenggu dengan rantai sudah cukup untuk menjatuhkan seluruh
pasukan dan situasi berakhir dengan kekalahan telak bagi pasukan Romawi dan
kemenangan bagi kaum muslimin di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Lebih dari
100.000 prajurit Romawi tewas, sementara pihak muslimin hanya 3000 prajurit
yang gugur.[6]
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ash-Shiddiq
[2]
Syarif Hidayatullah, Ilham Kesabaran Abu Bakar ash-Shiddiq (Jogjakarta:
DIVA Press, 2014), 17
[3]
http://www.albayyinat.net/bakrt.html
[4]
Khalid Muhammad Khalid, Biografi Khalifah Rasulullah (Jakarta: Ummul Qura,
2013), 88
[5]
Shalahuddin Mahmud As-Sa’id, 10 Sahabat Yang Dijamin Surga (Solo:
Al-Qowam, 2012), 46
[6] Ibid., hlm. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar